Pages

Senin, 30 Mei 2011

KELUARGAKU INSPIRASIKU

Malam ini, laju langkah kakiku berjalan dikehingan malam tanpa ada seberkas cahaya yang menyinari perjalananku, hanya terdengar sayup-sayup suara hewan-hewan malam yang mungkin masih terjaga untuk mencari apa yang mereka butuhkan dalam mempertahankan hidup mengiringi langkah kecilku. Entah kenapa tak ada cahaya rembulan yang bersinar, bahkan jangankan cahaya rembulan, cahaya dari sang kunang-kunang yang biasanya ku lihatpun tak ada.

Perlahan tapi pasti masih kulangkahkan kaki, entah untuk langkahku yang keberapa aku sudah tak tahu, yang pasti saat aku mulai berjalan dari ujung Batas Kota Tua tadi, waktu masih menunjukan pada angka 23.30, dan kini ketika kucoba rogoh saku celanaku, mencari sesuatu yang selama ini senantiasa menjadi teman setia dalam perjalanan hidupku, dan sesaat kemudian telah kutemukan benda itu segera saja kutekan salah satu tombolnya, kemudian kulihat waktu pada layarnya menunjukan pada angka 02.30, lalu kumasukan kembali benda itu kedalam saku celanaku, sejenak kemudian terbersit dalam pikiranku mengatakan, “Hmmm… ini saat yang indah bagi sebagian orang untuk terlelap dalam mimpi-mimpinya”, namun tak lama pikiran itu muncul, tiba-tiba aku tersadar dan sekarang giliran hati kecilku yang berkata, “Hmmm…mungkin akan lebih ni’mat lagi jika mereka tak terlelap dalam tidurnya dan dibuai mimpi-mimpi indah itu, tapi justru sebaliknya mereka sengaja untuk terjaga (bangun) pada waktu ini, untuk sekedar bercengkrama dengan Sang Khalik pemilik jiwa dan semesta alam ini, walau mungkin hanya dalam hitungan menit saja”, itulah pertentangan antara pikiran dan hati nuraniku sebagai seorang hamba sepanjang perjalanan yang kulalui setapak demi setapak.

Langkah kakiku terus berjalan menyusuri jalanan yang penuh akan bebatuan dan krikil tajam, maklum tempat tinggalku masih belum tersentuh oleh pembangunan yang sekarang sedang digalakan oleh elit politik di negeri para bedebah ini, mungkin mereka yang diatas sana (kini) sedang memangku jabatan tak melihat betapa desa tempatku tinggal ini butuh sentuhan dari tangan-tangan para kontraktor, (walaupun mungkin hanya sebatas kontraktor kelas teri saja, karena akan sangat berlebihan jika aku harus menulis dan berharap kontraktor kelas kakap yang mengerjakan proyek itu di desaku) atau mungkin jangan-jangan desaku tak termasuk dalam peta pembangunan yang mereka buat? Entahlah… masih beruntung jika yang terjadi seperti itu, tapi jika yang terjadi malah desaku tak ada dalam peta wilayah di negeri yang terkenal dengan alamnya yang kaya raya ini, itu lebih parah bukan? Semoga saja itu tak terjadi, gumamku dalam hati seraya sambil terus berjalan dengan penuh rasa lelah ingin segera beristirahat dipembaringan tempatku selama ini menyulam mimpi-mimpi masa depan.

Setelah sekian lama waktu kuhabiskan untuk menempuh perjalanan setapak demi setapak yang telah terlewati, kini tak berapa lama lagi aku akan tiba di istana kecil milik keluargaku, yang selalu kurindukan saat ku berada jauh di perantauan, bagiku di istana ini penuh dengan banyak hal yang bisa membuat ku tertawa dan tak jarang merasakan keharuan bersama pungawa-pungawa penghuninya.

Saat-saat yang mungkin tak ingin aku lewatkan adalah ketika makan malam bersama selepas shalat Isya’ berjama'ah, moment (peristiwa) yang begitu penting bagi keluargaku, yang notabene tak selalu bisa berkumpul bersama karena rutinitas/aktifitas masing-masing dari kami, namun ketika saat itu terjadi maka tak jarang bagian dari kami akan membaur duduk bersama sembari menyantap hidangan yang tak istimewa, tapi senantiasa aku harapkan ada saat aku jauh dari mereka. Hidangan yang sederhana inilah yang selalu ada untuk keluargaku atau mungkin berjuta keluarga lain di negeri ini, namun hidangan sederhana ini sangat terasa ni’mat rasanya jika aku santap bersama dengan mereka. Entah… apa yang sebenarnya aku rasakan, aku rindu masakan Ibuku atau aku rindu akan suasana kebersamaan kami yang telah lama tak kualami? Pastinya aku rindu semuanya dari keluargaku, apalagi sekarang ponakanku telah beranjak menjadi gadis kecil yang lucu, yang tingkahnya selalu membuat kami tertawa lepas, missal saja ketika menjelang acara wisuda Kakakku beberapa waktu yang lalu, ketika makan bersama dimana saat itu ada teman perempuan dari Kakakku, ponakanku yang telah selesai makan tiba-tiba bilang “Tante…tante, tante bisa kan nanti cuci piring”. Hahaha… sontak saja kami yang waktu itu sedang makan kaget bercampur malu mendengarnya, namun itu hanya terjadi beberapa saat, setelah itu kembali kami semua tertawa lepas… Sampai-sampai Ibuku bilang “Wah… siapa nih yang ngajari Icha…” (Note : Ariska Eka Putri Salsabila "Icha" : Nama keponakanku dari Kakak pertama/Mba'ku ^^)

Hufth… itu semua cerita lama, kini yang ada aku hanya tinggal sendiri di kota Yogyakarta, sebuah rumah kedua bagiku, tempat dimana aku bermukim dan mencari bekal untuk perjalanan hidupku selanjutnya, walau telah hampir sembilan tahun aku berada disini, berada jauh dari rumah yang selama ini selalu aku sebut istana (walaupun mungkin kalian akan kecewa jika benar-benar melihat kenyataan dari rumah keluargaku, yang hanya kami gunakan untuk berteduh dan berlindung dari panas dan hujan, atau hanya sekedar tempat bagi kami sekeluarga untuk beristirahat) buat keluargaku yang sangat aku rindukan, tapi aku merasakan ada secercah harapan yang tak akan pernah hilang sebagai motivasiku untuk mewujudkan harapan kedua orantuaku yang menginginkan ada perubahan dalam keluarga kami, hal itu hanya kami anak-anaknya yang dapat mewujudkannya, setidaknya kata yang selalu harus aku ingat adalah “Nak…kami sudah seperti ini, masa depan kami sudah seperti ini tak akan berubah lagi, kami sudah menjadi petani, sekarang tinggal kalian yang tahu bagaimana merubah nasib keluarga ini, rajin-rajinlah belajar dan taatlah beribadah, kejarlah cita-cita kalian, selama kami hidup maka kami akan membiayai pendidikan kalian, walau harus menjual kebun yang ada atau rumah tempat kita tinggal sekarang”, kata-kata itu biasanya diucapkan Ayahku, orang yang dulu sempat hampir meninggalkan kami semua untuk selamanya.

Hmmm… mungkin itulah keinginan sederhana dari sebagian orangtua di negeri ini kepada anak-anaknya, tapi aku tetap merasa sangat beruntung terlahir dari rahim Ibuku, dan dibesarkan dilingkungan yang penuh dengan nilai-nilai demokratis, yang senantiasa menghargai pilihan, karena ketika kuhabiskan malamku diperjalanan panjang yang selama ini kulalui, tak jarang aku melihat masih saja ada orang-orang yang hidup dalam derita berkepanjangan atau minimal tak “lepas dan bebas” seperti kami yang hanya hidup dengan modal nekat dan niat yang kuat. (Didaerahku banyak orang yang lebih mampu dan mapan secara ekonomi/financial daripada kami, tapi anak-anak mereka yang berkeinginan kuat untuk melanjutkan study, selalu dihalangi… Itu hanya potret buruk keluarga yang tak menghargai pilihan, atau jangan-jangan karena hidup itu pilihan maka memilih itu adalah hal yang sangat sulit).

Sekali lagi rasa syukur itu sewajarnya aku wujudkan dalam mimpi-mimpi masa depan yang senantiasa aku bingkai dalam sebuah syair kehidupan penuh dengan debu usang atau asap-asap pertarungan amal dan dosa yang tak bebas nilai atau mungkin aku katakan ambigu, namun penuh motivasi untuk membunuh, lemah namun tak mampu untuk dilumpuhkan.

Ya… itulah yang bisa aku gambarkan dalam potret perjalanan panjang yang telah kulalui sampai saat ini, jika kalian membaca huruf demi huruf, kata demi kata, bahkan kalimat demi kalimat dari apa yang tertulis disini, maka satu hal yang ingin aku katakan pada kalian, tulisan ini aku buat bukan semata aku rindu akan keluargaku, masakan Ibuku, suara gelak tawa kebersamaan kami ketika melihat tingkah lucu ponakanku, karena sebenarnya semua itu telah lama bisa aku redam dan pendam, tetapi lebih daripada itu aku melihat banyak wajah sayu dan kusam di negeri ini yang tak dapat mengakses pendidikan seperti kalian, begitu pun dengan ribuan desa-desa di negeri ini yang masih jauh dari peradaban yang sesungguhnya, padahal kemerdekaan negeri ini telah lebih dari 65 tahun lalu di kumandangkan oleh para funding father bangsa, itulah yang harus kita tahu dan ingat, bahwa tanggungjawab kita saat ini bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi minimal bagaimana bagian diri kita mampu mengeksistensikan diri untuk memanfaatkan potensi yang ada untuk membawa satu anak bangsa yang berada pada dinding baja penjara kehidupan, untuk mampu hidup layak bersama dengan mimpi-mimpi masa depannya. (Jadi ingat ada program dari Gerakan Indonesia Mengajar yang dipelopori oleh Pak Anies Baswedan ^^)

Semoga saja, langit kota Yogyakarta yang basah sore ini membawa cerita tersendiri untuk kita semua yang merasakan ni’matnya bumi setelah tersirami tetesan-tetesan butir hujan yang turun bersama sapuan angin yang membawanya bersama sang pelangi kehidupan, sehingga tercipta suatu kebaikan membawa kebaikan yang lain nantinya.

Sapen, 25 November 2010
(Pasca letusan merapi untuk yang kesekian kalinya ^__^)



4 komentar:

  1. Salam kenal...
    mat siang...aku lihat blog ini warung blogger, dan maaf aku langsung follow dan ku tunggu kehadiranmu ke blogku dan jgn lupa follow balik..

    BalasHapus
  2. Salam kenal kembalai... ^^
    Ok, Insya Allah segera Fol-Back deh ^___^

    BalasHapus
  3. saya dari http://arifjainuri.blogspot.com/
    salam kenal, di blog saya anda memita untuk ajarkan membuat read more, bukan kah read more yang anda gunakan sudah bgus, dan berfungsi dg baik?

    bales di blog saya!

    BalasHapus
  4. Terimakasih Kang sudah berkunjung ^__^

    Alhamdulillah "READ MORE"_nya sudah jadi, coba cari-cari tutorialnya, akhirnya selesai juga ^^

    BalasHapus