Pages

Selasa, 23 November 2010

SANTRI “NGEYEL”

Ada seorang pemuda yang baru pulang “nyantri” di negeri para kafir, sesampainya Sang pemuda tersebut di desanya dia pun langsung meminta kepada orangtuanya untuk dipertemukan dengan seorang Kiai yang kata orang-orang cukup terkenal didesanya. (Rupanya Sang pemuda ini ingin mencoba ilmunya dengan cara me-ngetes Sang Kiai).

Ketika berada dirumah Sang Kiai, Sang pemuda disambut dengan sangat ramah oleh Sang Kiai, sambil mengobrol pemuda tersebut pun akhirnya mengajukan tiga (3) pertanyaan.


Pertanyaan pertama
Sang pemuda kepada Sang Kiai adalah mengenai bukti adanya Allah. Dengan mengebu-gebu dan angkuhnya Sang pemuda mengatakan, “Pak Kiai tunjukan kepada saya sekarang apa buktinya jika Allah itu ada?!”


Kemudian pertanyaan kedua
dari Sang pemuda tersebut yaitu mengenai takdir. Sang pemuda dengan senyum sinis, karena merasa menang telah berhasil memojokan Sang Kiai mengatakan, “Apa takdir itu, tolong kau jelaskan pada saya Pak Kiai.”


Dan yang terakhir
, pemuda tersebut mengatakan kepada Sang Kiai, “Pak Kiai bukahkah setan itu katanya dari api, tapi kenapa ketika setan yang dari api di masukan ke dalam neraka masih merasakan kesakitan karena panasnya api neraka?, padahal kan neraka juga dari api, seharusnya kan api ketemu api maka akan biasa saja.”


Sang Kiai pun tiba-tiba menyuruh Sang pemuda mendekat padanya, setelah dekat tiba-tiba Kiai tersebut menampar pipi Sang pemuda, tentu saja Sang pemuda kaget dan bertanya-tanya dengan perlakuan Kiai tersebut.


Pemuda tersebut mengatakan pada Sang Kiai, “Pak Kiai kenapa anda malah menampar pipi saya? Apa salah saya?”


Tanpa menjawab Sang Kiai malah tersenyum, tentu saja hal itu membuat Sang Pemuda semakin merasa seperti dilecehkan.


Sebelum Sang pemuda terlihat semakin memuncak kemarahannya, Sang Kiai pun akhirnya menjelaskan maksud dari tamparannya pada pipi Sang pemuda tersebut. “Anakku, kau mau tahu mengapa aku menampar pipimu? Itu semua aku lakukan bukan lantaran aku membencimu atau marah atas pertanyaan darimu kepadaku, namun itu semua aku lakukan semata-mata karena aku ingin menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.”


Sang pemuda pun akhirnya semakin bingung dan bertanya lagi pada Sang Kiai akan maksud perkataannya, “Pak Kiai, anda telah gila ya, anda bilang maksud anda menampar pipi saya, semata-mata ingin menjelaskan kepada saya tentang pertanyaan-pertanyaan saya, terus apa hubungannya dengan tamparan anda pada pipi saya?”


Kiai tersebut langsung menjelaskan pada Sang pemuda maksud hubungan dari tamparannya pada pipi Sang pemuda dengan pertanyaan yang diajukan Sang pemuda kepadanya. “Anakku, bagaimana rasanya dengan tamparanku pada pipimu, apa yang kau rasakan? Sang pemuda menjawab “Sakit Pak kiai”, lalu Kiai tersebut berkata pada Sang pemuda, “Mana sakit itu, perlihatkan padaku?”, tentu saja Sang pemuda bingung dan tak mampu menjelaskannya, dalam kebingungan itu Kiai tersebut mengatakan, “Nah… anakku, begitu pula dengan Allah yang kita yakini selama ini, kita tak pernah tahu wujudnya bukan?”.


Kemudian pertanyaan kedua, Sang Kiai bertanya kepada Sang pemuda, “Anakku mimpi apa kau semalam?”, Sang pemuda menjawab “Saya tidak bermimpi apa-apa Pak Kiai.”, lalu Sang Kiai mengatakan, “Apa? Kau tidak bermimpi apa-apa?! Tidak ada firasat sama sekali bahwa pipimu akan aku tampar hari ini?”, kembali pemuda tersebut menjawab, “Tidak Pak Kiai”, Sang Kiai dengan senyum dan santai berkata, “Anakku, itulah yang dinamakan dengan takdir, kita tak pernah tahu kan jalannya, bahkan mungkin kita tak pernah sekalipun membayangkannya”.


Dengan melihat rasa bersalahnya Sang pemuda, Sang Kiai itu pun melanjutkan penjelasannya mengenai hubungan tamparannya pada pipi sang pemuda dengan pertanyaan yang diajukan oleh Sang pemuda kepadanya. Kembali Sang Kiai bertanya pada Sang pemuda, “Anakku, kau tahu aku menamparmu dimana? Dengan apa?”, pemuda tersebut menjawab, “Tahu Pak Kiai, di pipi, dengan tangan anda”, Kiai tersebut kemudian berkata, “Iya anakku, kau benar, nah… kau juga tahu kan tanganku ini adalah kulit dan pipimu adalah kulit juga bukan?”, Sang pemuda, “Iya Pak Kiai, lalu?”, Kiai tersebut meneruskan kata-katanya, “Begitu juga dengan neraka, neraka yang terbuat dari api dan setan yang terbuat dari api masih merasakan sakit/panasnya api neraka, tak ada ubahnya ketika kulit tanganku menampar kulit pipimu, dan kau pun merasakan sakitnya bukan?”, Sang pemuda hanya bisa terdiam, dan tertunduk malu pada Sang Kiai.


Semoga saja apa yang saya tuliskan dari hasil pemahaman dan renungan saya pada video yang dikirimkan oleh Ustadz Awan Abdullah ini dapat menambah kadar keimanan pada diri kita semua. Wallahu a'lam bish-shawabi... Fastabiqul Khairat ^__^

1 komentar: